Cerita KUPS Agroforetri Limo Koto: Dari 90 Persen Ilegal Logging, Jadi 90 Persen Pelestari Hutan

Oleh : Pengelola_Dishut Pada : 2024-06-04 10:09:27 Dibaca : 170 Kali
Cover

Dendang Ratok Pasaman menemani sepanjang perjalanan kami 24 peserta warga bercerita  Sumatera Barat menuju Nagari Limo Koto, Kecamatan Bonjol. Saya dan teman-teman warga bercerita di dalam bus putih yang mengantar kami ke tujuan kali ini. Caca dan Owy, “duo” peserta yang jadi andalan kami di dunia tarik suara mengambil alih Mikrofon karaoke yang disedikan pihak bus, dengan suara dangdut nya, sebab tak mau kalah dengan penyanyi aslinya, Beniqno. Jadilah kami berdangdut ria di dalam bus selama 50 menit perjalanan menuju lokasi. 


Yaaappss, Saya beserta 23 peserta lainnya yang berasal dari berbagai daerah di sumatera barat sedang melakukan pelatihan warga bercerita yang diadakan oleh Word Resource Institute (WRI) Indonesia bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Sumatera Barat. Kali ini tujuan kami adalah Salah satu lokasi Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang di dampingi langsung oleh WRI Indonesia yaitu jorong Limo Koto, salah satu daerah di nagari Air Abu, Kecamatan Bonjol, berjarak sekitar 1 jam berjalanan dari ibukota kabupaten Pasaman, Lubuk Sikaping. 


Sedikit cerita tentang jorong Limo koto ini, wilayah yang memiliki Hutan Nagari (LPHN) seluas 380 Ha ini menjadikan masyarakatnya sejak dahulu hidup berdampingan dengan hutan, karena tempat tinggal masyarakat setempat pun berada di tepi hutan. Begitu juga dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, masyarakat secara langsung mengambil hasil hutan, ada yang berburu, bertani, berkebun, dan mengambil kayu. 

Hutan sebagai sumber ekonomi masyarakat 

Sesampai disana, Pak Subir, Kepala adat yang ikut menemani kami berkeliling Hutan Nagari membuka obrolan ketika sedang istirahat, 


“Dahulu hampir semua laki-laki di kampung ini bekerja sebagai pengambil kayu tanpa izin, hampir tiap hari naik ke atas (hutan) kemudian malam atau besoknya dijual ke penampung di bawah” ucapnya sambil menjelaskan daerah disekitarnya. 


Hal ini tentu menarik buat saya. Setahu saya, mengambil kayu tanpa izin atau yang sering disebut illegal logging adalah kegiatan yang melanggar hukum. Hukumannya pun tak macam-macam, bisa kena pidana penjara maksimum 15 tahun dan denda maksimum Rp 100 miliar. tentu saya tak asal menuliskannya. Hal ini dijelaskan di undang-undang No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Jika masih tak percaya, coba saja. Tapi saya tidak tanggungjawab setelahnya. 


Namun yang lebih menarik lagi, selama perjalanan ke dalam hutan saya tak melihat adanya pohon yang ditebang dengan sengaja ataupun warga yang membawa potongan kayu yang siap diolah. Membuat saya menganggap apa yang dikatakan pak Subir tersebut hanya Ota lapau saja. 


 “Benar nak, dulu memang orang ngambil kayu disni, dari dulu. menggunakan kapak, waktu menggunakan kapak, nggak banyak dapatnya, tpi setelah ada yang menggunakan sinso (Gergaji mesin) , perubahan nya cukup drastis” sambung ibuk Yulia dan siti nurbaya, warga setempat yang juga anggota KUPS induak Upiah mempertegas pernyataan sebelumnya. 


Ternyata anggapan saya keliru, setelah mengobrol panjang dengan pak Subir, buk Yulia dan buk Siti Nurbaya, yang mana dari perawakannya saya yakin, apa yang mereka katakan benar adanya. 


Memang tak bisa dipungkiri bahwa ilegal logging amat susah dipisahkan dari masyarakat yang hidup berdampingan dengan hutan, meskipun itu hutan nagari. bagiaimana tidak, berdasarkan data dari Komunitas Konservasi Indonesia warsi, pada tahun 2022 saja Sumbar kehilangan 27.447 Ha tutupan hutan yang diakibatkan tambang liar dan pembalakan liar dari tahun sebelumnya. Berarti pada tahun 2022 Sumbar kehilangan hutan 11 x luas Kota Bukittiggi (2524 Ha) atau 1 x luas Kota Sawahlunto (27.345 Ha). selain itu, Meski pemerintah sudah mengatur UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutar, sepertinya tidak dirisaukan oleh masyarakat. Ini disebabkan tidak adanya opsi lain dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sedangkan kebutuhan terus berjalan. Setidaknya begitulah yang dijelaskan oleh pak Subir dan ibu Yulia dalam obrolan singkat kami, dan saya yakin itu banyak terjadi didaerah-daerah yang masyarakatnya tinggal berdampingan dengan hutan. Walau tak bisa dibenarkan, tapi begitulah kenyataan yang terjadi. Walahu A’lam. 

Munculnya Kesadaran masyarakat 

Masih didalam hutan, kemudian saya pindah “tongkrongan” karena ingin mencari informasi baru yang mungkin bisa lebih menarik, dan akhirnya saya bertemu bang Amal rudin, pemuda setempat  yang aktif sebagai penyuluh swadaya kemasyarakatan dan pendamping kehutanan sosial dari Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) wilayah sumatera. Bukan main abang yang saya temui ini, beliau bukan sembarang beliau (begitulah kira-kira kata netizen sekarang). Bang Amal rudin ini ternyata pernah meraih Peringkat Terbaik II tingkat nasional kategori Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) tahun 2023. Amboii.. Dan dari beliau saya mendapat angin sepo-sepoi nan segar. 

Ternyata benar adanya, bahwa warga disini begitu bergantung dengan hutan, bahkan hampir 95 % persen warga disini bekerja sebagai pengambil kayu. Itu sejak dahulu, memang karna tidak adanya pilihan pekerjaan lain yang cepat menghasilkan uang, jadi masyarakat pun tak punya pilihan lain. Sebab ketidaktahuan atau kurangnya sosialisasi tentang illegal logging, kegiatan ini tetap dilakukan masyarakat hingga 2017-an, cerita bang amal rudin.

Namun, perubahan positif terjadi. Sejak hutan nagari dibentuk pada tahun 2018, mengambil kayu di hutan mulai berkurang sebab hutan sudah bisa dikelola secara legal. Dan perubahan itu kian baik, pada tahun 2021, bang Amal rudin menegaskan, masyarakat disini membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Agroforesti yang terdiri dari 2 kelompok, yaitu kelompok laki-laki yang bernama KUPS Danau Raya berjumlah 20 orang, dan kelompok KUPS Induak Upiah, yaitu kelompok perempuan yang beranggotakan 5 orang. Yang mana hampir semua anggota KUPS ini juga memiliki ladang (kebun) di daerah kelola KUPS Agroforesti ini. 


Program KUPS membawa perubahan 

Sejak Sistem KUPS ini dibentuk, masyarakat secara swadaya saling membantu dan mengelola hutan yang mana juga sekaligus adalah kebun mereka. Di dalam wilayah kelola KUPS Agroforesti yang berjumlah sekitar 15 Ha, mereka memiliki strategi sendiri dan visioner, setidaknya menuru saya pribadi.  Wilayah KUPS Agroforesti dibagi dalam 3 kategori, yakni pertama tanaman jangka pendek seperti, Cabe rawit, jahe, singkong talas, dan lainnya. Kedua tanaman musiman seperti, Durian, Jengkol, Mangga, dan lainnya. Ketiga tanaman jangka panjang seperti Kayu manis, surian, mahoni, dan meranti, di tanaman jangka panjang ini rata-rata jenis ke-kayu-an yang bisa ditebang dan memiliki nilai ekonomis tinggi. 

Hebatnya, untuk pemenuhan kebutuhan harian, mereka memanfaatkan tanaman jangka pendek yang bisa dipanen dalam masa lebih singkat, dan rata-rata setiap keluarga bisa mendapatkan sekitar 600 ribu perminggu. Hebat nian. 

Satu lagi. Tanaman Kayu manis memiliki nilai plus buat saya, bagaimana tidak. Disini, Mereka menjadikan Kayu Manis sebagai Investasi untuk Anak. Dengan sebutan “ATM (Anjungan Tunai Mandiri)”. Yang berarti bahwa, Kayu manis yang ditanam jangka panjang berguna sebagai “tabungan” untuk masa depan anak mereka, contohnya apabila anak akan masuk kejenjang pendidikan yang lebih tinggi atau baralek (menikah) maka kayu manis ini akan ditebang dan dijual dalam kondisi memiliki nilai yang lebih tinggi karena ditanam sewaktu anak masih kecil. Dan cara demekian sudah mereka lakukan secara turun-temurun. Sungguh Visioner bukan. 

Kabar baiknya program pemanfaatan hutan ini, masyarakat secara swadaya tanpa diminta pun menjadi bagian dari patroli hutan yang dilaksanakan dengan cara berkelompok (piket) sesuai jadwal yang ditetapkan. 

Hal yang membuat saya merasa kagum dengan kegiatan yang mereka lakukan adalah efek yang ditimbulkan. Bang Amal berani menjamin perubahan itu sudah terjadi dalam masyarakatnya, jika dahulu warganya 90 ?kerja sebagai penebang kayu setiap harinya dan hanya 10 % yang bekerja lain. Sekarang, kebalikannya, hanya tersisa 10 % yang menjadi penebang kayu, hal itupun bukan untuk dijual, tetapi digunakan untuk kebutuhan pribadi mereka. Sungguh menakjubkan.  

Hal ini tidak akan terjadi jika bukan karna kesadaran dan kemauan masyarakat dalam mengelola dan tetap menjaga kelestarian hutan yang amat dekat dengan mereka.  Saya berandai-andai, apabila masyarakat memiliki kesadaran seperti yang dilakukan oleh masyarakat Limo Koto, tentu sangat hutan akan terus terjaga dan lestari, selain itu masyarakat bisa menikmati hasil hutan secara terus-menerus. Seandainya, Hehe. 


Tak terasa mentari sudah sejajar dengan kepala kami, yang mana mengisyaratkan sudah waktunya untuk keluar dari hutan, turun gunung. Di akhir obrolan, bang amal rudin berpesan, agar setiap kita meningkatkan kesadaran dan kepedulian terhadap daerah kita masing-masing, setidaknya disekitar kita. Dan sadar bahwa kita tak bisa hidup tanpa alam sekitar kita. 

Siap laksanakan bang, ucap saya merespon yang dikatakan bang Amal. 


Setelah keluar dari hutan, saya dan teman-teman menaiki bus, melanjutkan perjalanan untuk pulang, cerita yang menarik sudah kami dapatkan dan bawa pulang. 

Di dalam bus, dalam keadaan lelah tentunya, penyanyi kami, Caca dan Owy tak lupa menghibur kami. Dengan memutar lagu Kemesraan versi karaoke, karya om Iwan Fals yang penuh dengan ironi sedih, lagu terputar, kami terhanyut dalam lirik dan menyanyi bersama. 


Kemesraan ini, jangan cepat berlalu 
Kemesraan ini, 
Ingin ku kenang selalu...